Senin, 01 Februari 2010

tak lagi menunggu

ketika rasa itu menghilang
berdiam adalah ilalang
lari dari satu sudut ke sudut yang lain, bergerak dalam gelap berharap akan terang, teruslah melaju jangan lagi menunggu.

Sabtu, 23 Mei 2009

Batoh Lessong



Keindahan pantai terpantul pada wajah-wajah yang ceria.
Posted by Picasa

Jumat, 08 Mei 2009

BAHASA INDONESIA, GERAKAN NASIONALISME DAN KEMERDEKAAN

BAHASA INDONESIA, GERAKAN NASIONALISME DAN KEMERDEKAAN
( Sebuah Studi Historis Tentang Urgensitas Bahasa Indonesia)

Bahasa Sebagai sarana utama untuk menangkap, mengkomonikasikan, mendiskusikan,dan mengubah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehiduoan manusia. Dengan bahasa, manusia memberikan informasi tentang pelbagai hal di masa lampau. Dengan bahasa kita bisa menyusuri kembali masa lampau dan mempertimbangkan masa depan. Dengan bahasa kita dapat mengkomonikasikan ide-ide yang absrak. Dengan bahasa kita dapat mengungkap pengalaman, menyatakan kegembiraan dan rasa sakit. Dengan bahasa kita bisa mengatakan "Saya sakit, tolong panggilkan saya dokter", dan lain-lain.
Bahasa juga mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting bagi suatu bangsa, lebih-lebih bangsa yang terjajah. Dengan bahasa sebuah bangsa akan mempunyai simbol kebersamaan dan dapat mempererat persatuan dan kesatuan, dengan tumbuhnya semangat nasionalisme, bangsa yang terjajah mempunyai peluang besar untuk menjadi bangsa yang merdeka.
Bangsa Indonesia yang terjajah relative lama lebih disebabkan oleh tidak adanya simbol yang menyimbolkan persatuan, salah satunya adalah dari segi bahasa, sebagai negara kepulauan bangsa Indonesia mempunyai bahasa yang cukup beragam, dilihat dari satu sisi keragaman bahasa ini merupakan kekayaan sebuah bangsa, akan tetapi dari sisi yang lainnya keragaman bahasa telah menimbulkan terpecahnya perjuangan bangsa Indonesia menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga penjajah dapat menghancurkan setiap gerakan perjuangan yang sudah terpecah-pecah dengan cara yang relative mudah
Perjalanan panjang yang menjenuhkan dan menimbulkan luka dan duka yang begitu dalam bagi bangsa Indonesia telah menyadarkan bangsa ini akan arti penting sebuah persatuan, langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah mencari dan menciptakan sarana untuk mempererat rasa kesatuan dan persatuan. Salah satu sarana yang berhasil dirumuskan adalah menciptakan sebuah bahasa nasional yang mewakili seluruh bangsa Indonesia, sebuah dialek (bahasa) yang khas Indonesia, sebuah bahasa yang diserap dari kultur budaya asli Indonesia yang kelak akan melahirkan sebuah persepsi positif tentang Indonesia, yakni kebebasan, kemandirian, dan kebersamaan.
Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa yang khas Indonesia tersebut diperlukan sebuah kesepakatan bersama yang bersifat nasional. Tugas berat dan berbahaya ini kemudian dipikul oleh pemuda-pemuda Indonesia yang tercerahkan dengan semangat nasionalismenya yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Pada tanggal 26-28 Oktober 1928 pemuda-pemuda tersebut melakukan kongres II dengan pengawalan ketat dari tentara belanda, kongres yang dihadir oleh sembilan organisasi pemuda dan sejumlah tokoh politik termasuk Soekarno, Sartono, dan Sunaryo telah melahirkan sebuah keputusan yang membawa semangat nasionalisme ke tingkat yang lebih tinggi.
Salah satu keputusan yang dihasilkan oleh kongres pemuda II adalah " Kami Putra dan Putri Indonesia Menjungjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”, keputusan yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut kemudian terkenal dengan nama Sumpah Pemuda. Terwujudnya sebuah bahasa nasional (bahasa Indonesia) yang tidak lain adalah kristalisasi dari kultur budaya asli Indonesia ini telah melahirkan dan mengantarkan bangsa Indonesia menuju Indonesia baru, Indonesia yang bersatu, Indonesia yang mandiri, Indonesia yang merajut

SEKILAS TENTANG TEOLOGI QUR'ANI

SEKILAS TENTANG TEOLOGI QUR'ANI
( Sebuah Ringkasan Pemikiran Cak Hasyim)

Semangat pluralisme dan dialaog antar agama seringkali di usung dengan kemasan yang cukup beragam, adakalanya berbentuk seminar, diskusi atau debat. Adanya diskursus dialog antar agama ini merupakan sebuah upaya yang pantas untuk di dukung karena hal ini akan menjadi titik tolak untuk menciptakan keselarasan antar agama. Akan tetapi prasyarat untuk mendialogkan agama yaitu sikap ingklusif seringkali terabaikan sehingga keselarasan antar agama tidak tercapai sebagaimana yang di harapkan.
Adanya suatu penafsiran yang bias tehadap ajaran agama dan cara pandang yang tidak proporsiaonal telah mengakibatkan kekakuan pemahaman umat beragama terhadap agama-agama lain. Berdasarkan hal yang demikian maka diperlukan langkah-langkah yang tepat, guna menghilangkan kejumudan dan mengharmonikan agama-agama.
Salah satu langkah yang sering di lakukan oleh kelompok-kelmpok yang peduli terhadap integritas dan perdamaian antar agama adalah mencoba mengkaji ulang terhadap teks-teks suci agama sesuai dengan konteks ayat itu di turunkan serta menghubungkannya dengan konteks kekinian. Hal ini dilakukan dalam rangka memperoleh pemahaman yang utuh terhadap pesan dari sebuah teks agama, sehingga nilai luhur agama –perdamaian- dapat terealisasikan dalam kehidupan masyrakat yang plural.
Walaupun upaya untuk mengkaji ulang terhadap teks agama mendapatkan perhatian yang cukup tinggi dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh agama yang tercerahkan, namun usaha untuk mengharmoniskan antar umat beragama belum sepenuhnya berhasil, sehingga upaya tersebut perlu ditumbuh kembangkan. Buku “ Kristologi Qur’ani” yang di susun oleh Hasyim Muhammad – yang mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kristen dengan menggunakan metode Maudhu’i dengan menggunakan pendekatan kontekstual - Merupakan salah satu langkah membangun hubungan harmonis Islam-Kristen.
Dalam bukunya ini, hasyim mencoba memahami kembali tema-tema kekristenan dalam al-Qur'an yang selama ini – menurut Hasyim - oleh sebagian kalangan ditafsirkan secara bias, distorsif dan tekstual. Berdasarkan penelitiannya, Hasyim mengemukakan bahwa, kritik, penolakan, dan kecaman baik terhadap umat yahudi maupun Nasrani dalam al-Qur'an adalah lebih merupakan respon terhadap perilaku dan kualitas moral mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam. Yakni ajaran yang mengukuhkan keimanan dan mengecam kekufuran, menganjurkan kepasrahan pada Tuhan dan menentang keangkuhan, menebar kasih sayang dan menghapus kebencian, menegakkan keadilan dan melawan kesewenang wenangan, mengokohkan solidaritas kemanusiaan dan menghilangkan egoisme serta fanatisme rasial. Dengan kata lain, ayat-ayat Kristiani yang diungkapkan oleh al-Qur'an adalah dalam rangka merespon problem-problem kemanusiaan universal. Bukan untuk membuat pagar yang memisahkan golongan tertentu dengan golongan yang lain, tetapi sebaliknya mengokohkan persatuan, membangun solidaritas, menciptakan kedamaian dan membebaskan manusia dari penindasan.
Upaya Hasyim dalam menjawab kegelisahan spiritual ini menurut sebagian kalangan merupakan upaya jalan tengah dalam memahami agama Kristen seobjektif mungkin. Disisi yang lain dengan karya tulisnya ini hasim mencoba menerjamahkan satu prinsip dalam Islam, yakni al-Islamu rahmatan li al-'alamin.

DISKUSI KAUM QADARI DAN SUNNI

DISKUSI KAUM QADARI DAN SUNNI

Ibnu al-Qayyim al-Jauziah telah memberikan deskripsi mengenai diskusi kaum qadari dan kaum sunni, dalam diskusi itu masing-masing memberikan argumen terhadap pandangannya, Deskripsi dua golongan yang di lakukan oleh ibnu al- Qayyim al-Jauziah ini pada akhirnya mengunggulkan kaum sunni, beriku ini kami kutib sebagian dari perbincangan tersebut :

Orang qadari berkata : Allah telah menyandarkan semua perbuatan kepada hambanya, dengan dua macam penyandaran, pertama penyandaran yang sifatnya umum, seperti disandarkannya semua perbuatan kepada manusia dengan kemampuan ( istito’ah ) sebagai mana di firmankan Allah dalam Al-Qur’an “ wa manlam yastatik minkum taulan anyankihal muhsonaatu mukminaatu”, dengan kehendak ( masyiah ) “ liman syaa’a minkum anyastakiima, dengan kemauan ( iradhah ) “ Fa’arattu an a’ibaha, dengan pekerjaan, perolehan ( kasab ), dan kemampuan untuk menciptakan ( as-Sun’u ) “ yaf’aluun, ya’maluun, bimaa kuntum taksibuun, labi’ samaa kaanuu yasna’uun “. Kedua penyandaran yang bersifat khusus seperti disandarkannya pekerjaan shalat, puasa, hajji, bersuci, berzina, mencuri, membunuh, berdusta, kafir, fasiq, dan penyandaran semua perbutatan-perbuatan lain kepada mereka sendiri, penyandaran ini mencegah dari menyandarkan perbuatan-perbatan itu kepada Allah SWT. tanpa mereka atau bersama mereka, jadi perbuatan-perbuatan itu hanya disandarkan kepada hamba (manusia ) tanpa Allah SWT.
Tanggapan orang sunni : Pernyataan anda ini bisa benar bisa salah, pernyataan anda mengenai penyandaran semua perbuatan itu kepada manusia adalah benar dan tidak ada keraguan tentang itu, akan tetapi mengenai pendapatmu yang mengatakan bahwa adanya penyandaran ini menghilangkan kepada penyandaran semua perbuatan kepada Allah SWT. pernyataan ini terlalu menggeneralisir dan kabur, jika yang di maksudkan adalah tercegahnya menyandarkan perbuatan itu kepada Allah, menyifati Allah dengan perbuatan tersebut, menjalankan hukum-hukum perbuatan itu kepada Allah, atau memuasalkan nama-nama dari perbuatan itu kepada Allah, itu adalah betul, dan itu berarti tidak adanya penyandaran sesuatu kepada Allah dari pandangan dan cara yang seperti ini. Jika dengan tidak adanya penyandaran itu engkau bermaksud menafikan terhadap bersandarnya semua perbuatan-perbuatan itu kepada pengetahuan Allah SWT., kekuasaan NYA, kehendak-NYA yang umum dan penciptaan-NYA itu adalah batal karena perbuatan-perbuatan itu berda dalm pengetahuan Allah SWT dan Tuhan berkuasa untuk menciptakannya oleh karena itu menyandarkan perbutan-perbuatan kepada manusia tidak bisa menafikan penyandaran ini seperti harta sesungguhnya harta itu di ciptakan oleh Allah SWT. dan Dia-lah pemilik yang sebenarnya akan tetapi harta itu disandarkan kepada manusia. Maka semua perbuatan dan semua harta adalah ciptaan dan milik Nya dan Allah SWT. yang maha suci menyandarkannya kepada hamba-hambanya, dan Allahlah yang menjadikannya, pemiliknya dan pelakunya dan di hasilkannya harta-harta sebab usaha mereka dan kehendak mereka seperti di hasilkanya beberapa perbuatan.

Uzlah

UZLAH

Sebagian ulama’ berpendapat bahwasanya uzlah ( hidup menyendiri ) itu lebih di senangi dan lebih utama daripada mukhalatoh ( hidup secara sosial ) . Sementara tabi’in lebih cenderung terhadap pola hidup sosial berdasarkan sebuah hadits nabi bahwasanya kesabaran dalam menghadapi tantangan dalam hidup bersosial adalah lebih utama dari pada beribadah.

Faedah Uzlah
Terlepas dari perbedaan ulama’ mengenai uzlah, uzlah sendiri memiliki beberapa faedah yang mendorong manusia untuk selalu konsentrasi secara vertikal. Diantara faedah tersebut adalah :
Memungkinkan manusia tekun dan taat

Mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia akan membuat seseorang lebih fokus untuk beribadah, berfikir, memupuk kesenangan akan Allah, memohon keselamatan dan merenungi rahasia alam raya. Menyendiri dengan menyenangi kitab Allah dan berpegang teguh terhadapnya menjadikan hidup di dunia sangat bermakna, berdzikir kepada Allah, hidup dengan dzikir matipun hanya dengan berdzikir kepada Allah. Bertaqwalah kamu semua kepada Allah dengan senantiasa berdzikir kepada Nya.


Memberikan ruang untuk belajar
Membebaskan manusia dari melanggar larangan yang biasa tumbuh dalam kehidupan sosial, seperti riya’, ghibah dan tidak menyerukan kebajikan serta mencegah kejahatan.

Memilih secara mutlak antara uzlah ( hidup menyendiri ) atau mukhalatoh ( hidup bersosial )1 adalah hal yang mustahil, sikap moderat merupakan pilihan ynang paling tepat dan utama, berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi tantangan-tantangan dan gejolak sosial memungkinkan kita untuk memperoleh faidah-faidah dalam kehidupan sosial. Bersikap proporsional, tidang memandang remeh/menyepelekan terhadap hal/sesuatu yang sederhana sehingga kita tetap memperoleh faidah uzlah.

Beruzlah, menyingkir dari kejelekan manusia dan melewati waktu dengan berdzikir kepada Allah saja, jangan terjebak oleh angan-angan karena akan membuat kita tenggelam daam lautan hayalan. Uzlah adalah jihad akbar, perang melawan hawa nafsu seperti yang di katakan oleh sahabat, kita kembali dari prang kecil ( konfrontasi fisik ) menuju perang besar ( konfrontasi dengan hawa nafsu ). Allah maha tahu dan kepadaNyalah kita akan kembali.

1.Fudlail mengutip jawaban Rasulullah atas pertanyaan Ibnu Amir al Juhniy. Bagaimana memperoleh keberuntungan ? Rasulullah menjawab. Luaskan rumahmu, jangan bicara

Puncak Perjalanan Sang Sufi

Puncak Perjalanan Sang Sufi
Puncak perjalanan seorang sufi adalah pertemuannya dengan Sang Kekasih, bagi seorang sufi pertemuan dengan Rabb merupakan kenikmatan yang tak tertandingi.
Untuk meraih puncak kenikmatan itu seorang sufi senantiasa melakukan riyadhah untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Wirid dalam tradisi sufi merupakan riyadhah untuk selalu meneggelamkan diri dalam Diri Tuhan ( Fainnama tuwallu fatsamma Wajjhallah ) Wirid dengan dzikir lebih sebagai manifestasi dari rasa cinta seorang sufi kepada Tuhan.
Wirid dengan fikir adalah usaha untuk mengenal Sifat-Sifat dan Perbuatan Sang Kekasih
Rasa cinta dan pengetahuan seorang sufi akan Tuhan akan memalingkan seorang sufi dari dunia, yang ada dalam dirinya hanyalah al Haqq. Pada tingkatan ini, kehidupan seorang sufi hanya penuh dengan penghambaan dan penghambaan atau dengan kata lain tabi'at seorang sufi talah menyamai tabi'at malaikat.
Keberhasilan seorang sufi dalam meraih cita-cita mulya mengharuskan adanya : Pertama Hadirnya hati, yaitu kesadaran akan siapa diri ini dan kemana kita menuju, kesadaran yang demikian ini akan membingbing seorang sufi untuk selalu dekat dengan Tuhan. Kedua Ikhlas, artinya apa yang kita lakukan bener-benar unutk Allah dan kita melakukannya semata-mata karna rasa cinta kita bukan yang lainnya. Terwujudnya dua syarat ini didalam melakukan riyadhah akan memperlancar perjalanan seorang sufi dalam menempuh perjalanan menuju Al-Alhaq.

Peran Tafsir Dalam Dinamika Ajaran Islam

PERAN TAFSIR DALAM DINAMIKA AJARAN ISLAM
A. Pendahuluan
Sudah kita maklumi bahwa kehidupan manusia secara terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan, baik secara sosial maupun budaya. Seiring dengan perubahan dan perkembangan tersebut problematika kehidupan sosial kemanusian juga semakin pelik dan kompleks. Oleh karenanya hal ini memerlukan penyelesaian yang sesuai dengan tuntutan yang dihadapi manusia.
Ajaran Islam sebagai petunjuk dan pedoman hidup terus mengikuti perkembangan zaman, hal ini terjadi karena pada satu sisi adanya ajaran Islam memang sebagai petunjuk, dan tentunya selalu bersinggungan atau ada titik temu antara petunjuk dengan yang ditunjuk dalam hal ini manusia dengan segala persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu mengetahui dinamika ajaran Islam dan metode-metode yang digunakan untuk mengembangkannya adalah sangat penting. Dalam makalah ini penulis lebih pada model penulisan deskriptis analitis, menguraikan hal-hal yang bersinggungan dengan tafsir, tentang dinamika ajaran Islam, dan kemudian menyimpulkan.
B. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba – yadribu” dan nasara – yansuru “. Dikatakan : “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan yafsuru, fasran”, dan fassarahu’, artinya “abanahu (menjelaskan). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Tafsir menurut istilah sebagaimana didefinisikan oleh az-Zarkasi : Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya”.
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Sebagai penerima wahyu, nabi Muhammad memiliki pemahaman terhadap al-Qur’an secara globl dan terperinci. Dan adalah kewajibannya adalah menjelaskannya kepada para sahabatnya. (an-Nahl [16] : 44).
Para Sahabat juga memahami terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, meskipun pemahamannya tidaklah detail .
Dalam menafsirkan al-Qur’an para sahabat berpegangan kepada al-Qur’an, selama ditemukan keterangan tentang satu ayat dari ayat lain, apabila tidak ditemukan keterangan dalam al-Qur’an sahabat akan merujuk kepada nabi, karena sebagai penerima wahyu nabi mempunyai jaminan untuk bisa menjelaskan al-Qur’an secara detail (al-Qiyamah[75] : 17-19).
Para sahabat akan melakukan pemahaman dan ijtihad apabila tidak ditemukan tafsir dalam al-Qur’an juga tidak ditemukan dalah sunnah rasul sesuatu yang berhubungan dengan hal itu, mengingat mereka orang asli arab yang menguasai bahasa arab, memahami dan mengetahui sisi kebalaghahannya. Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an di antaranya adalah: Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin ka’ab, dan Zaid bin sabit.
Demikian juga tabi’in dan tabit tabi’an, mereka menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bi al-Ra’yu hanya ketika tidak temui tafsir pada al-Qur’an, sunnah nabi juga ijtihad sahabat.
Pada periode ini (mutaqaddimin) corak penafsiran masih mengacu pada inti kandungan al-Qur’an itu sendiri juga kepada sunnah nabi (tafsir bi al-ma’tsur), namun demikian menarik untuk kita amati bahwa peran akal juga memiliki tempat yang layak pada penafsiran mereka dengan menggunakan ijtihad, fenomina tersebut sesungguhnya memberikan tempat yang sangat lapang terhadap ijtihad dalam pergulatan persoalan di zamannya.
Sedangkan ulama muta’akhirin bukan hanya mengikuti corak tafsir bi-al-ma’tsur, tetapi mengembangkan lebih jauh dengan metode-metode kondisional, ulama muta’akhirin berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan cabang-cabang ilmu tafsir, yaitu: nahwu, sharaf, balagah dan lain-lain, hal ini dilakukan untuk menangkapmakna al-Qur’an, sebagaimana dicapai pada masa sebelum interaksi atau masa ulama mutaqaddimin.
D. Corak Penafsiran Al-Qur’an
a. Tafsir Tahlili
Tafsir tahlili ialah , mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Ustmani. Untuk pengkajian metode ini kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah Saw. Dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Metode tahlili adalah, metode yang dipergunakan kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Akan tetapi, di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (itnab), ada yang dengan singkat (I’jaz), dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili, tetapi dengan corak yang berbeda.
Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu : Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi dan tafsir adabi.
1. Tafsir bi al Ma’tsur
Penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang lain. Termasuk dalam Tafsir bi al-Ma’stur adalah penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Di antara kitab Tafsir bi al-Ma’tsur adalah kitab : Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibnu Jarir al-Thabari.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Penafsiran yang dilakukan mufassir dengan menjelaskan ayat al-Qur’an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-Ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-Ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang di kemukakan para ulama tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Jika tidak, maka ditolak penafsirannya. Di antara kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah kitab : Madarik tanzil wa haqaiq al-Ta’wil, karangan al-Ustdz Mahmud al-Nasafi.
3. Tafsir Shufi
Penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang shufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasauf. Di antara kitab tafsir shufi adalah kitab : Tafsir al-Qur’an al-Adzim, karangan Imam al-tusturi.
4. Tafsir Fiqih
Penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan (tokoh) suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir Fiqih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda, sebagaimana kita temukan sebagian ulama mengarang kitab tafsir Fiqih adalah kitab : “Ahkam al-Qur’an” karangan al-Jasshash.
5. Tafsir Falsafi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab : Mafatih al-Ghaib yang dikarang al-Fakhr al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat keutuhan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik (logika).
6. Tafsir ‘Ilmi
Penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Di antara kitab tafsir ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karangan al-‘Allamah Wahid al-Din Khan.
7. Tafsir Adabi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi adalah kitab tafsir al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
b. Tafsir Ijmali
Tafsir ijmali yaitu, penafsiran al-Qur’an dengan uraian singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutannya dalam mushaf dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan orang pertengahan antara keduanya.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali adalah : Tafsir al-Jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli.
c. Tafsir Muqaran
Metode tafsir muqaran yaitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian ia menjelaskan bahwa di antara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada di antar mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi I’rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balaghah, seperti ‘Abd al-Qahhar al-Jurjany dalam kitab tafsirnya I’jaz al-Qur’an.
d. Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i (tematik) yaitu metode yang ditempuh seorang mufasir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah/tema (maudlu) serta mengarah pada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya.
Kemudian ia menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu), menguraikannya dengan sempurna menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistinbatkan darinya, segi i’rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi I’jaznya (kemu’jizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an itu dan oleh karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain. Sebagian kitab tafsir dengan metode maudhu’i : ar-Riba fi al-Qur’an, karya Ustadz Abu al-A’la al Maududy.
e. Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada saat al-Quran diturunkan, Rasul SAW. berfungsi sebagai mubayyin (sebagai penjelas), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasul Saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul Saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur’an.
f. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang berdasarkan ijtihad mufassirnya dan menjadikan akal pikirannya sebagai pendekatan utamanya. Adapun kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi yang terpenting di antaranya adalah: Mafatih al-Ghayb, oleh Fakhr al-Razi
E. Syarat-Syarat dan Adab Bagi Mufassir
Kajian ilmu-ilmu syari’at pada umumnya dan ilmu tafsir pada khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab agar, dengan demikian, jernihlah salurannya serta terpelihara keindahan wahyu dan keagungannya.
a. Syarat-syarat bagi Mufasir
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir yang dapat kami ringkas sebagai berikut :
1). Akidah yang benar, sebabakidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkhianat dalam menyampaikan berita.
2). Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik.
3). Menafsirkan, lebih dahulu, Qur’an dengan Qur’an. Karena sesuatu yang masih gelobal pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4). Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah brfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya. Qur’an telah menyebutkan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah barasal dari Allah.( an-Nisa [4]:105).
5). Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an; mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Quran diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh.
6). Memeriksa pendapat tabi’in apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur’an,sunnah maupun dalam pendapat para sahabat.
7). Memiliki pengetahuan bahasa arab yang cukup dengan segal cabangnya, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab dan pemahamn tentangnya sangat tergantung pada penguraian mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian- pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat.
8). Memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’an seperti ilmu qira’ah, ilmu tauhid, ilmu usul terutama usul al-tafsir dengan mendalami kaidah-kaidah yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh mansukh dan lain sebagainya.
9). Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syari’at.
b. Adab Mufassir
Menjadi mufasir merupak perbuatan baik, seorang mufasir dengan segenap kemampuannya memahami al-Qur’an dan kemudian menjadikannya sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai persoalan, seorang mufasir berikut hasil tafsirannya akan menjadi panutan bagi orang lain. Oleh karena itu seorang mufasir hendaknya mempunyai: niat yang baik, berakhlak baik, taat dan suka beramal, berlaku jujur dan dan teliti dalam penukilan, tawadu’ dan lemah lembut, berjiwa mulia, vokal dalam menyampaikan kebenaran, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, tidak gegabah, dan mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.
F. Ajaran Islam
Ajaran Islam, baik hukum ataupun akhlaq merupakan hasil pemahaman atas al-Qur’an dan hadits yang tidak lain adalah sumber pokok ajaran Islam. Sebagai hasil pemahaman, ajaran Islam tidak bisa lepas dari ruang dan waktu, sehingga hal-hal yang berada diluar teks juga mempengaruhi terhadap suatu pemahaman.
Dalam hukum Islam disebutkan bahwa orang yang mencuri harus di potong tangan, di negeri arab hukum itu bisa terlaksana karena memang negeri arab menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif, namun hukum potong tangan tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam konteks indonesia yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif. Dalam hal ini ulama fiqih berpendapat bahwa tujuan dari hukuman potong tangan bagi pencuri adalah agar tidak mengulangi perbuatan tersebut, yakni kapok. Jika demikian hukuman penjara bagi pencuri dalam konteks indonesia juga bisa di terima (sesuai dengan ajaran Islam), karena tujuannya juga agar si pencuri kapok dari perbuatan yang tidak terpuji tersebut.
Hasil penafsiran yang semacam ini akan menjadikan ajaran Islam terus berkembang dan sesuai dengan kebutuhan zaman, ajaran Islam mampu menyentuh problematika kehidupan yang dihadapai manusia.
G. Penutup
Kontekstualisasi ajaran Islam terhadap nilai-nilai kontemporer merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Islam dituntut untuk mampu berdialog dengan masa dan waktu.
Untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam terutama yang bersumber pada al-Qur’an, diperlukan ilmu Tafsir, ilmu untuk menggali dan memahami ideal moral (maksud utamanya) al-Qur’an dan mengambilnya sebagai ajaran-ajaran yang cocok dalam waktu dan tempat tertentu. Dengan demikian bisa dipahami bahwa, tafsir mempunyai peranan penting dalam perkembangan ajaran Islam.


DAFTAR BACAAN
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2003.
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Terjemah : Drs. Mudzakir AS), Jakarta : Litera Antar Nusa, 2001.
Mustaqim, Abdul dan Syamsudin, Sahiron (Ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.
Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an), Vol 1,
Hamid Abu Zaid, Nasr, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Terjemah: Khoiron Nahdliyyin), Yogyakarta: LkiS, 2003.
Syadali, Ahmad dan Rofi’I, Ahmad, Ulumul Qur’an II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997


PERAN TAFSIR DALAM DINAMIKA AJARAN ISLAM



Diajukan untuk memenuhi tugas Test Seleksi Beasiswa Program Pascasarjana Ilmu Tafsir/Ulumul Qur’an yang diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama
Republik Indonesia








disusun Oleh :
MAHMUD



PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH
GULUK-GULUK SUMENEP
2006

Sholat Id

1. Sholat Id hukumnya adalah sunnah Muakkad
2. Shoalt Id terdiri dari dua rakaat
3. Membaca takbir tujuh kali pada rakaat pertama selain takbirotul ihrom
4. Membaca takbir lima kali selain takbir berdiri dari sujud
5. Membaca dua khotbah setelah sholat Id
6. Membaca sembilan kali takbir pada khotbah pertama dan membaca tujuh takbir pada khotbah kedua
7. Pada hari raya idul fitri sunnah membaca takbir sejak terbenamnya matahari sampai datangnya imam untuk sholat id
8. Pada hari raya idul adha sunnah membaca takbir setelah sholat wajib dimulai setelah subuh pada hari arafah sampai setelah ashar pada akhir hari tasrik.

Syarat, Rukun, dan Sunnah-Sunnah Sholat Jum'at

Adapun syarat-syarat wajibnya mengerjakan sholat jum’at ada tujuh :
1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Merdeka 5. Laki-laki 6. Sehat 7. Mampu
Adapun syarat-syarat sahnya melakukan sholat jum’at ada tiga :
1. Adanya tempat untuk melaksanakan sholat jum’at, baik di kota atau di desa
2. Jumlh jemaah sampai empat puluh
3. Cukupnya waktu untuk mengerjakan sholat jum’at
Adapun fardhu sholat jum’at ada tiga :
1. Dua khotbah
2. Berdiri pada dua khotbah dan duduk diantara dua khotbah
3. Mendirikan sholat dua rokaat dengan berjaah
Adapun sunnah-sunnah sholat jum’at ada empat :
1. Mandi sebelum pergi untuk sholat jum’at
2. Membersihkan badan
3. Memakai pakaian yang berwarna putih
4. Memotong kuku
5. Memakai pengharum