Jumat, 08 Mei 2009

Peran Tafsir Dalam Dinamika Ajaran Islam

PERAN TAFSIR DALAM DINAMIKA AJARAN ISLAM
A. Pendahuluan
Sudah kita maklumi bahwa kehidupan manusia secara terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan, baik secara sosial maupun budaya. Seiring dengan perubahan dan perkembangan tersebut problematika kehidupan sosial kemanusian juga semakin pelik dan kompleks. Oleh karenanya hal ini memerlukan penyelesaian yang sesuai dengan tuntutan yang dihadapi manusia.
Ajaran Islam sebagai petunjuk dan pedoman hidup terus mengikuti perkembangan zaman, hal ini terjadi karena pada satu sisi adanya ajaran Islam memang sebagai petunjuk, dan tentunya selalu bersinggungan atau ada titik temu antara petunjuk dengan yang ditunjuk dalam hal ini manusia dengan segala persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu mengetahui dinamika ajaran Islam dan metode-metode yang digunakan untuk mengembangkannya adalah sangat penting. Dalam makalah ini penulis lebih pada model penulisan deskriptis analitis, menguraikan hal-hal yang bersinggungan dengan tafsir, tentang dinamika ajaran Islam, dan kemudian menyimpulkan.
B. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba – yadribu” dan nasara – yansuru “. Dikatakan : “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan yafsuru, fasran”, dan fassarahu’, artinya “abanahu (menjelaskan). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Tafsir menurut istilah sebagaimana didefinisikan oleh az-Zarkasi : Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya”.
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Sebagai penerima wahyu, nabi Muhammad memiliki pemahaman terhadap al-Qur’an secara globl dan terperinci. Dan adalah kewajibannya adalah menjelaskannya kepada para sahabatnya. (an-Nahl [16] : 44).
Para Sahabat juga memahami terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, meskipun pemahamannya tidaklah detail .
Dalam menafsirkan al-Qur’an para sahabat berpegangan kepada al-Qur’an, selama ditemukan keterangan tentang satu ayat dari ayat lain, apabila tidak ditemukan keterangan dalam al-Qur’an sahabat akan merujuk kepada nabi, karena sebagai penerima wahyu nabi mempunyai jaminan untuk bisa menjelaskan al-Qur’an secara detail (al-Qiyamah[75] : 17-19).
Para sahabat akan melakukan pemahaman dan ijtihad apabila tidak ditemukan tafsir dalam al-Qur’an juga tidak ditemukan dalah sunnah rasul sesuatu yang berhubungan dengan hal itu, mengingat mereka orang asli arab yang menguasai bahasa arab, memahami dan mengetahui sisi kebalaghahannya. Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an di antaranya adalah: Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin ka’ab, dan Zaid bin sabit.
Demikian juga tabi’in dan tabit tabi’an, mereka menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bi al-Ra’yu hanya ketika tidak temui tafsir pada al-Qur’an, sunnah nabi juga ijtihad sahabat.
Pada periode ini (mutaqaddimin) corak penafsiran masih mengacu pada inti kandungan al-Qur’an itu sendiri juga kepada sunnah nabi (tafsir bi al-ma’tsur), namun demikian menarik untuk kita amati bahwa peran akal juga memiliki tempat yang layak pada penafsiran mereka dengan menggunakan ijtihad, fenomina tersebut sesungguhnya memberikan tempat yang sangat lapang terhadap ijtihad dalam pergulatan persoalan di zamannya.
Sedangkan ulama muta’akhirin bukan hanya mengikuti corak tafsir bi-al-ma’tsur, tetapi mengembangkan lebih jauh dengan metode-metode kondisional, ulama muta’akhirin berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan cabang-cabang ilmu tafsir, yaitu: nahwu, sharaf, balagah dan lain-lain, hal ini dilakukan untuk menangkapmakna al-Qur’an, sebagaimana dicapai pada masa sebelum interaksi atau masa ulama mutaqaddimin.
D. Corak Penafsiran Al-Qur’an
a. Tafsir Tahlili
Tafsir tahlili ialah , mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Ustmani. Untuk pengkajian metode ini kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah Saw. Dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Metode tahlili adalah, metode yang dipergunakan kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Akan tetapi, di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (itnab), ada yang dengan singkat (I’jaz), dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili, tetapi dengan corak yang berbeda.
Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu : Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi dan tafsir adabi.
1. Tafsir bi al Ma’tsur
Penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang lain. Termasuk dalam Tafsir bi al-Ma’stur adalah penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Di antara kitab Tafsir bi al-Ma’tsur adalah kitab : Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibnu Jarir al-Thabari.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Penafsiran yang dilakukan mufassir dengan menjelaskan ayat al-Qur’an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-Ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-Ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang di kemukakan para ulama tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Jika tidak, maka ditolak penafsirannya. Di antara kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah kitab : Madarik tanzil wa haqaiq al-Ta’wil, karangan al-Ustdz Mahmud al-Nasafi.
3. Tafsir Shufi
Penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang shufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasauf. Di antara kitab tafsir shufi adalah kitab : Tafsir al-Qur’an al-Adzim, karangan Imam al-tusturi.
4. Tafsir Fiqih
Penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan (tokoh) suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir Fiqih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda, sebagaimana kita temukan sebagian ulama mengarang kitab tafsir Fiqih adalah kitab : “Ahkam al-Qur’an” karangan al-Jasshash.
5. Tafsir Falsafi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab : Mafatih al-Ghaib yang dikarang al-Fakhr al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat keutuhan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik (logika).
6. Tafsir ‘Ilmi
Penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Di antara kitab tafsir ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karangan al-‘Allamah Wahid al-Din Khan.
7. Tafsir Adabi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi adalah kitab tafsir al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
b. Tafsir Ijmali
Tafsir ijmali yaitu, penafsiran al-Qur’an dengan uraian singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutannya dalam mushaf dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan orang pertengahan antara keduanya.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali adalah : Tafsir al-Jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli.
c. Tafsir Muqaran
Metode tafsir muqaran yaitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian ia menjelaskan bahwa di antara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada di antar mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi I’rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balaghah, seperti ‘Abd al-Qahhar al-Jurjany dalam kitab tafsirnya I’jaz al-Qur’an.
d. Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i (tematik) yaitu metode yang ditempuh seorang mufasir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah/tema (maudlu) serta mengarah pada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya.
Kemudian ia menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu), menguraikannya dengan sempurna menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistinbatkan darinya, segi i’rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi I’jaznya (kemu’jizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an itu dan oleh karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain. Sebagian kitab tafsir dengan metode maudhu’i : ar-Riba fi al-Qur’an, karya Ustadz Abu al-A’la al Maududy.
e. Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada saat al-Quran diturunkan, Rasul SAW. berfungsi sebagai mubayyin (sebagai penjelas), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasul Saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul Saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur’an.
f. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang berdasarkan ijtihad mufassirnya dan menjadikan akal pikirannya sebagai pendekatan utamanya. Adapun kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi yang terpenting di antaranya adalah: Mafatih al-Ghayb, oleh Fakhr al-Razi
E. Syarat-Syarat dan Adab Bagi Mufassir
Kajian ilmu-ilmu syari’at pada umumnya dan ilmu tafsir pada khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab agar, dengan demikian, jernihlah salurannya serta terpelihara keindahan wahyu dan keagungannya.
a. Syarat-syarat bagi Mufasir
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir yang dapat kami ringkas sebagai berikut :
1). Akidah yang benar, sebabakidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkhianat dalam menyampaikan berita.
2). Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik.
3). Menafsirkan, lebih dahulu, Qur’an dengan Qur’an. Karena sesuatu yang masih gelobal pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4). Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah brfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya. Qur’an telah menyebutkan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah barasal dari Allah.( an-Nisa [4]:105).
5). Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an; mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Quran diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh.
6). Memeriksa pendapat tabi’in apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur’an,sunnah maupun dalam pendapat para sahabat.
7). Memiliki pengetahuan bahasa arab yang cukup dengan segal cabangnya, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab dan pemahamn tentangnya sangat tergantung pada penguraian mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian- pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat.
8). Memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’an seperti ilmu qira’ah, ilmu tauhid, ilmu usul terutama usul al-tafsir dengan mendalami kaidah-kaidah yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh mansukh dan lain sebagainya.
9). Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syari’at.
b. Adab Mufassir
Menjadi mufasir merupak perbuatan baik, seorang mufasir dengan segenap kemampuannya memahami al-Qur’an dan kemudian menjadikannya sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai persoalan, seorang mufasir berikut hasil tafsirannya akan menjadi panutan bagi orang lain. Oleh karena itu seorang mufasir hendaknya mempunyai: niat yang baik, berakhlak baik, taat dan suka beramal, berlaku jujur dan dan teliti dalam penukilan, tawadu’ dan lemah lembut, berjiwa mulia, vokal dalam menyampaikan kebenaran, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, tidak gegabah, dan mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.
F. Ajaran Islam
Ajaran Islam, baik hukum ataupun akhlaq merupakan hasil pemahaman atas al-Qur’an dan hadits yang tidak lain adalah sumber pokok ajaran Islam. Sebagai hasil pemahaman, ajaran Islam tidak bisa lepas dari ruang dan waktu, sehingga hal-hal yang berada diluar teks juga mempengaruhi terhadap suatu pemahaman.
Dalam hukum Islam disebutkan bahwa orang yang mencuri harus di potong tangan, di negeri arab hukum itu bisa terlaksana karena memang negeri arab menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif, namun hukum potong tangan tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam konteks indonesia yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif. Dalam hal ini ulama fiqih berpendapat bahwa tujuan dari hukuman potong tangan bagi pencuri adalah agar tidak mengulangi perbuatan tersebut, yakni kapok. Jika demikian hukuman penjara bagi pencuri dalam konteks indonesia juga bisa di terima (sesuai dengan ajaran Islam), karena tujuannya juga agar si pencuri kapok dari perbuatan yang tidak terpuji tersebut.
Hasil penafsiran yang semacam ini akan menjadikan ajaran Islam terus berkembang dan sesuai dengan kebutuhan zaman, ajaran Islam mampu menyentuh problematika kehidupan yang dihadapai manusia.
G. Penutup
Kontekstualisasi ajaran Islam terhadap nilai-nilai kontemporer merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Islam dituntut untuk mampu berdialog dengan masa dan waktu.
Untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam terutama yang bersumber pada al-Qur’an, diperlukan ilmu Tafsir, ilmu untuk menggali dan memahami ideal moral (maksud utamanya) al-Qur’an dan mengambilnya sebagai ajaran-ajaran yang cocok dalam waktu dan tempat tertentu. Dengan demikian bisa dipahami bahwa, tafsir mempunyai peranan penting dalam perkembangan ajaran Islam.


DAFTAR BACAAN
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2003.
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Terjemah : Drs. Mudzakir AS), Jakarta : Litera Antar Nusa, 2001.
Mustaqim, Abdul dan Syamsudin, Sahiron (Ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.
Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an), Vol 1,
Hamid Abu Zaid, Nasr, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Terjemah: Khoiron Nahdliyyin), Yogyakarta: LkiS, 2003.
Syadali, Ahmad dan Rofi’I, Ahmad, Ulumul Qur’an II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997


PERAN TAFSIR DALAM DINAMIKA AJARAN ISLAM



Diajukan untuk memenuhi tugas Test Seleksi Beasiswa Program Pascasarjana Ilmu Tafsir/Ulumul Qur’an yang diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama
Republik Indonesia








disusun Oleh :
MAHMUD



PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH
GULUK-GULUK SUMENEP
2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar